Terlarut bersama hujan
Kami berangkulan
Mencari makna dan nama
untuk sebuah peradaban
yang telah hilang
Bandung, satu pagi
Friday, June 18, 2010
Friday, May 14, 2010
Cerita Bintang
bintang bintang teronggok
membiru berkedip
tersamarkan rerumputan
pelan dan pelan
naik ke langit kelam
mencari peraduan..
Bandung menjelang senja, 14 Mei 2010
Bandung menjelang senja, 14 Mei 2010
Friday, May 7, 2010
Penjara
terpenjara dalam raga tua
aku merintih memaki
doa dalam kesinisan
terisap sepi kepiluan
bau anyir dan busuk tertawa berbarengan
menginjakku dalam nisan awan-awan
dalam kelam mencekam
pilu yang setia
teman sejati sabar berbagi
tentang luka, luka dan luka saja
memang aku sudah tiada
entah dimana
saat terjaga oleh kepiluan
air mataku berdoa
"Lepaskan aku dari penjara raga tua ini Tuhan"
Ranjang penantian, 7 Mei 2010
aku merintih memaki
doa dalam kesinisan
terisap sepi kepiluan
bau anyir dan busuk tertawa berbarengan
menginjakku dalam nisan awan-awan
dalam kelam mencekam
pilu yang setia
teman sejati sabar berbagi
tentang luka, luka dan luka saja
memang aku sudah tiada
entah dimana
saat terjaga oleh kepiluan
air mataku berdoa
"Lepaskan aku dari penjara raga tua ini Tuhan"
Ranjang penantian, 7 Mei 2010
Wednesday, May 5, 2010
Gunung, pantai, awan
Terdampar sementara dalam pencarian
Di sebuah alun-alun ketenangan
Tempat menghela nafas
di bawah beringin yang rimbun
Kutatap dalam gunung gunung berjajaran
angkuh diam
Taklid dalam kepatuhan
Kurasakan ombak bergulung-gulung bekejaran
bergemuruh, berebutan
mencumbu karang
Dalam keterpanaan, langit mengukir cerita
tentang Ramayana dan Dewi Sinta
cerita sederhana berulang
bermakna tak mengenal masa
Dalam sajian alam
batinku bertanya lirih
pada yang mendengar
"Apakah aku di surga, kawan?"
Pacitan, 5 Mei 2010
Di sebuah alun-alun ketenangan
Tempat menghela nafas
di bawah beringin yang rimbun
Kutatap dalam gunung gunung berjajaran
angkuh diam
Taklid dalam kepatuhan
Kurasakan ombak bergulung-gulung bekejaran
bergemuruh, berebutan
mencumbu karang
Dalam keterpanaan, langit mengukir cerita
tentang Ramayana dan Dewi Sinta
cerita sederhana berulang
bermakna tak mengenal masa
Dalam sajian alam
batinku bertanya lirih
pada yang mendengar
"Apakah aku di surga, kawan?"
Pacitan, 5 Mei 2010
Berbagi Beban
Bergumul dengan lapang
Berharap berbagi beban dengan awan
Tentang cinta, cita, derita, duka, senang, bahagia, pedih
semua
Sungguh, aku tak memaksa
sebisamu saja
Pacitan, 5 Mei 2010
Berharap berbagi beban dengan awan
Tentang cinta, cita, derita, duka, senang, bahagia, pedih
semua
Sungguh, aku tak memaksa
sebisamu saja
Pacitan, 5 Mei 2010
Monday, May 3, 2010
Tersesat
Kupagut perih
diatas ranjang kenistaan
Merintih meraung pedih
dalam pelukan ketiadaan
Telah membatu hatiku
bergulir diantara jeram sungai darah
Gelap kurasa langit hilang biru
aku tersesat menghiraukan arah
Aku penari lantang
Dalam keramaian aku kesepian
Selalu berharap lekas petang
Agar aku kulepaskan jubah kepedihan
Ternoda oleh cinta
yang diobral murah diantara jajanan
aku sembilu terhina
Oleh tipu dan rayuan
Telah kutorehkan tinta
Cerita memalukan
Membenci gila cinta
Yang menipu meremukkan
Aku ternoda oleh sabda pengelana
Mabuk oleh candu cinta
Yang keluar manis nun berbisa
Aku ternoda
Biar saja kudekap tubuhku sendiri
Kubasuh dengan darah dan peluh
Aku ingin berlari
Kusegan bertahan disini, ingin lekas pergi
Masuk diantara kobaran bara, lekas melepuh
Ruang bisu, 3 Mei 2010
diatas ranjang kenistaan
Merintih meraung pedih
dalam pelukan ketiadaan
Telah membatu hatiku
bergulir diantara jeram sungai darah
Gelap kurasa langit hilang biru
aku tersesat menghiraukan arah
Aku penari lantang
Dalam keramaian aku kesepian
Selalu berharap lekas petang
Agar aku kulepaskan jubah kepedihan
Ternoda oleh cinta
yang diobral murah diantara jajanan
aku sembilu terhina
Oleh tipu dan rayuan
Telah kutorehkan tinta
Cerita memalukan
Membenci gila cinta
Yang menipu meremukkan
Aku ternoda oleh sabda pengelana
Mabuk oleh candu cinta
Yang keluar manis nun berbisa
Aku ternoda
Biar saja kudekap tubuhku sendiri
Kubasuh dengan darah dan peluh
Aku ingin berlari
Kusegan bertahan disini, ingin lekas pergi
Masuk diantara kobaran bara, lekas melepuh
Ruang bisu, 3 Mei 2010
Pengelana
Kugantung doa diawan
sungguh kutakada pamrih
Hanya tak ingin kulupakan
hingga aku pulang dan letih
Aku pengelana tanpa tujuan
berserak menarik langkah pelan
bersenda memungut cerita
tentang siapa,kamu aku kita siapa saja
menyelaminya satu persatu
menorehkan warna-warna pada mimpiku
Kutakbutuh waktu
yang menggantung rindu
Penjejal pilu
Kutakbutuh arah
pemberat langkah
Membuatku lemah
Kutakbutuh bekal
Menghitamkan hatiku bebal
Meremukkan hasratkutak kebal
Aku hanya butuh jalan
Penuntunku pelan
dalam puisi dan kefaanaan
Persetan
Tentang kehadiran
Aku hanya butuh berjalan
Aku pengelana tanpa tujuan
Ruang bisu, 3 Mei 2010
sungguh kutakada pamrih
Hanya tak ingin kulupakan
hingga aku pulang dan letih
Aku pengelana tanpa tujuan
berserak menarik langkah pelan
bersenda memungut cerita
tentang siapa,kamu aku kita siapa saja
menyelaminya satu persatu
menorehkan warna-warna pada mimpiku
Kutakbutuh waktu
yang menggantung rindu
Penjejal pilu
Kutakbutuh arah
pemberat langkah
Membuatku lemah
Kutakbutuh bekal
Menghitamkan hatiku bebal
Meremukkan hasratkutak kebal
Aku hanya butuh jalan
Penuntunku pelan
dalam puisi dan kefaanaan
Persetan
Tentang kehadiran
Aku hanya butuh berjalan
Aku pengelana tanpa tujuan
Ruang bisu, 3 Mei 2010
Telaga Kenangan
Bau rumput meranggas kuhirup
Kabut putih tebal kusapa
Angin gunung menggigit kurasa
Air bergemiricik ke persinggahan
Alhamdulillah aku telah tiba
Selamat datang kenangan
Ngebel, 3 Mei 2010
Kabut putih tebal kusapa
Angin gunung menggigit kurasa
Air bergemiricik ke persinggahan
Alhamdulillah aku telah tiba
Selamat datang kenangan
Ngebel, 3 Mei 2010
Namaku
Namaku mentari
setidak tidaknya sampai malam ini tak terenggut
oleh bilar-bilar jingga di ufuk timur sana
Namaku rembulan
setidak tidaknya sampai awan kuat bertahan
ditempatnya oleh rong rongan lembayung musim kemarau
Namaku pelangi
setidak tidaknya sampai mentari dan bulir hujan
tak berpagutan di seberang gunung
Namaku hujan
setidak tidaknya sampai awan kuat menahan tangisnya
Namaku angin
setidak tidaknya sampai orang tak berdoa atas gerah
yang dititipkan tuhan, meminta udara bergiliran berpindah
tempat
Namaku aer
Setidak tidaknya sampai awan kehilangan kesedihannya
diantara cerita perjalanannya.
Namaku yatim piatu
Setidak tidaknya sampai ayah ibuku hidup kembali.
Namaku...
ah, terlalu banyak untuk kuingat.
Ruang senyap, 3 Mei 2010
setidak tidaknya sampai malam ini tak terenggut
oleh bilar-bilar jingga di ufuk timur sana
Namaku rembulan
setidak tidaknya sampai awan kuat bertahan
ditempatnya oleh rong rongan lembayung musim kemarau
Namaku pelangi
setidak tidaknya sampai mentari dan bulir hujan
tak berpagutan di seberang gunung
Namaku hujan
setidak tidaknya sampai awan kuat menahan tangisnya
Namaku angin
setidak tidaknya sampai orang tak berdoa atas gerah
yang dititipkan tuhan, meminta udara bergiliran berpindah
tempat
Namaku aer
Setidak tidaknya sampai awan kehilangan kesedihannya
diantara cerita perjalanannya.
Namaku yatim piatu
Setidak tidaknya sampai ayah ibuku hidup kembali.
Namaku...
ah, terlalu banyak untuk kuingat.
Ruang senyap, 3 Mei 2010
Kelepon
Engkau candu para pencari rindu
Taburan parutan kelapa muda yang memabukkan
Melupakanku sejenak hasrat pencarianku
Hijau serasi dengan balutan pembungkus daun
Mengurai makna akan keteguhan
dan keyakinan
Gurihmu merayu lirih
Mengajakku melayang-layang diulur kenikmatan
Berpindah dari dahan ke daun
silih berayun
Manismu adalah kejutan
Meresapi setiap pembuluh lidah para penikmatmu
Berbungkus keindahan dan keserasian
Kau benar-benar racun canduku
Penghisap keperihan
Rasamu perpaduan
pengharapan dan kehilangan
Yang bersatu dalam doa, usaha dan keprasahan
Ruang senyap, 3 Mei 2010
Taburan parutan kelapa muda yang memabukkan
Melupakanku sejenak hasrat pencarianku
Hijau serasi dengan balutan pembungkus daun
Mengurai makna akan keteguhan
dan keyakinan
Gurihmu merayu lirih
Mengajakku melayang-layang diulur kenikmatan
Berpindah dari dahan ke daun
silih berayun
Manismu adalah kejutan
Meresapi setiap pembuluh lidah para penikmatmu
Berbungkus keindahan dan keserasian
Kau benar-benar racun canduku
Penghisap keperihan
Rasamu perpaduan
pengharapan dan kehilangan
Yang bersatu dalam doa, usaha dan keprasahan
Ruang senyap, 3 Mei 2010
Bocah pelukis pelangi
Bocah kecil pelukis pelangi
meringkuk di balik kolong2 kardus
berlindung dari tetesan aer mata awan
Diam terpekur
menanti kanvas langitnya agak kering
menanti kuas tuanya siap
menanti cat warna mataharinya datang
Mempersiapkan lukisan mahakaryanya.
Ah, aku iri kepada kalian
yang melukis semua kebebasan
dalam warna warni pelangi
menafikan kekangan kefanaan.
Ruang biru, 3 Mei 2010
meringkuk di balik kolong2 kardus
berlindung dari tetesan aer mata awan
Diam terpekur
menanti kanvas langitnya agak kering
menanti kuas tuanya siap
menanti cat warna mataharinya datang
Mempersiapkan lukisan mahakaryanya.
Ah, aku iri kepada kalian
yang melukis semua kebebasan
dalam warna warni pelangi
menafikan kekangan kefanaan.
Ruang biru, 3 Mei 2010
Namaku sepi
Namaku sepi
Lahir dari kolong-kolong pekat malam berpagut kesunyian
Berteman ketidakpedulian
Diasuh oleh ketiadaan
Bergumul dengan penderitaan
Mati berkarat dalam kesendirian
Ya, sepi, itu yang tertulis di epitaphku
Di kolong kesunyian, 3 Mei 2010
Lahir dari kolong-kolong pekat malam berpagut kesunyian
Berteman ketidakpedulian
Diasuh oleh ketiadaan
Bergumul dengan penderitaan
Mati berkarat dalam kesendirian
Ya, sepi, itu yang tertulis di epitaphku
Di kolong kesunyian, 3 Mei 2010
Sunday, May 2, 2010
Kebisuan
Kita duduk berhadapan membisu
hanya tatap sendu
Aku melihatmu engkau tak sebaliknya
Selang beberapa menit aku bicara
Lalu berteriak
Lalu berbisik
Dan diam
Kita hanyut lagi
dalam samudera biru masing-masing
Dalam kebisuan mencekam
berakhir oleh dua buah gerakan
berlawanan
Aku beranjak berjalan
Kau beranjak berlawanan
Diam
Aku belajar mengukir senyum
menampik rasa perih yang menyayat
Semua berjalanan pada arahnya
membisu
dalam sunyi kutitip doa
entah untuk siapa.
sederhana
"Semoga engkau berbahagia"
Ngebel, 2 Mei 2010
hanya tatap sendu
Aku melihatmu engkau tak sebaliknya
Selang beberapa menit aku bicara
Lalu berteriak
Lalu berbisik
Dan diam
Kita hanyut lagi
dalam samudera biru masing-masing
Dalam kebisuan mencekam
berakhir oleh dua buah gerakan
berlawanan
Aku beranjak berjalan
Kau beranjak berlawanan
Diam
Aku belajar mengukir senyum
menampik rasa perih yang menyayat
Semua berjalanan pada arahnya
membisu
dalam sunyi kutitip doa
entah untuk siapa.
sederhana
"Semoga engkau berbahagia"
Ngebel, 2 Mei 2010
Tuesday, April 27, 2010
Teman Seperjalanan
sesampai di pemberhentian berikutnya saja
temani aku
menikmati tarian daun
mendengar bisikan angin
yang mengalun merdu diantara celah jendela
meresapi setiap potong cerita
tentangku
tentangmu
tentang mereka
atau bebas, tentang siapa saja
yang kita kenal atau yang asing
aku akan sangat senang.
Oia, terima sebotol tehku ini
mungkin tak lagi manis, aku sudah mencampurnya
dengan aer mata Ibu penjualnya
tak apakan?
Dan ini sepotong kue sisa, yang kubeli dari anak
kecil berkaki pincang di depan stasiun Barat.
Ini yang bisa kusuguhkan sebagai pengantar kita mengarungi
samudera cerita didalam besi tua yang terus bergerak bising ini.
Hmm, masih 2 jam lagi stasiun berikutnya.
Cukup saja untuk kita bertukar dunia, setujukah teman seperjalanan?
Ruang bisu, 3 Mei 2010
temani aku
menikmati tarian daun
mendengar bisikan angin
yang mengalun merdu diantara celah jendela
meresapi setiap potong cerita
tentangku
tentangmu
tentang mereka
atau bebas, tentang siapa saja
yang kita kenal atau yang asing
aku akan sangat senang.
Oia, terima sebotol tehku ini
mungkin tak lagi manis, aku sudah mencampurnya
dengan aer mata Ibu penjualnya
tak apakan?
Dan ini sepotong kue sisa, yang kubeli dari anak
kecil berkaki pincang di depan stasiun Barat.
Ini yang bisa kusuguhkan sebagai pengantar kita mengarungi
samudera cerita didalam besi tua yang terus bergerak bising ini.
Hmm, masih 2 jam lagi stasiun berikutnya.
Cukup saja untuk kita bertukar dunia, setujukah teman seperjalanan?
Ruang bisu, 3 Mei 2010
Saturday, April 24, 2010
akulah :
akulah lelaki yang menggigil di ujung gang
di setiap malam yang dingin menggigit
membunuh kehidupan
dalam sunyi kelu tanpa rintihan
aku jugalah lelaki yang mematung di jembatan tua
di pinggir kota
memandang dalam ke sungai yang dangkal
yang mulai menyusut nadir darahnya
aku pula lelaki kumal bergitar tua
bersenandung sumbang di depan teras-teras toko
yang mulai kehilangan gairah untuk menggoda
para penjaja kepuasaan
akulah lelaki yang kehilangan bayangan ketika sinar matahari sedang
di puncak teriknya menggeliatkan setiap sel kegerahan
akulah lelaki yang berteriak lantang di tengah pasar
yang menyerap setiap kata dan nada dalam irama tak beraturan
menyadarkan keyakinanku akan kebisuanku
akulah lelaki yang mengejar bayang
menagih janji kepada bulan untuk janji yang tak pernah ia ucapkan
akulah lelaki yang terlahir dari rahim emosi
yang terus menuntut pamrih yang tak pernah kujanjikan
akulah lelaki yang berjalan diantara siang dan malam
dan masih ragu akan berhenti dimana
dan malam ini akulah
lelaki yang menggoreskan kata demi kata
yang memang tak berarti, untuk sebuah alasan saja
menemaniku menghabiskan secangkir kopi kental
berusaha bertahan agar diriku tak larut dalam encernya dunia mimpi
di setiap malam yang dingin menggigit
membunuh kehidupan
dalam sunyi kelu tanpa rintihan
aku jugalah lelaki yang mematung di jembatan tua
di pinggir kota
memandang dalam ke sungai yang dangkal
yang mulai menyusut nadir darahnya
aku pula lelaki kumal bergitar tua
bersenandung sumbang di depan teras-teras toko
yang mulai kehilangan gairah untuk menggoda
para penjaja kepuasaan
akulah lelaki yang kehilangan bayangan ketika sinar matahari sedang
di puncak teriknya menggeliatkan setiap sel kegerahan
akulah lelaki yang berteriak lantang di tengah pasar
yang menyerap setiap kata dan nada dalam irama tak beraturan
menyadarkan keyakinanku akan kebisuanku
akulah lelaki yang mengejar bayang
menagih janji kepada bulan untuk janji yang tak pernah ia ucapkan
akulah lelaki yang terlahir dari rahim emosi
yang terus menuntut pamrih yang tak pernah kujanjikan
akulah lelaki yang berjalan diantara siang dan malam
dan masih ragu akan berhenti dimana
dan malam ini akulah
lelaki yang menggoreskan kata demi kata
yang memang tak berarti, untuk sebuah alasan saja
menemaniku menghabiskan secangkir kopi kental
berusaha bertahan agar diriku tak larut dalam encernya dunia mimpi
Wednesday, April 21, 2010
Panggung
Ditelanjangi cahaya
tak ada lagi tempat bersembunyi
dari panggung hina ini
Kualat, aku butuh topeng semar
Catatan panggung sederhana
penuh intrik kata, tipuan muka, picikan mata
Cuih, berebut peran palsu
terbirit birit diantara punggawa lugu
Eh, diseberang depan
kulihat dirimu
embun diterik yang mencengkik
tersenyum simpul
Menelanjangiku hingga ke ubun-ubun
Alamak, dimana aku lagi akan bersembunyi
Panggung palsu, 21 April 2010
tak ada lagi tempat bersembunyi
dari panggung hina ini
Kualat, aku butuh topeng semar
Catatan panggung sederhana
penuh intrik kata, tipuan muka, picikan mata
Cuih, berebut peran palsu
terbirit birit diantara punggawa lugu
Eh, diseberang depan
kulihat dirimu
embun diterik yang mencengkik
tersenyum simpul
Menelanjangiku hingga ke ubun-ubun
Alamak, dimana aku lagi akan bersembunyi
Panggung palsu, 21 April 2010
Friday, April 16, 2010
Selamat Datang Pagi
Tuhan telah menyapakan pagi
Bukan sekedar untukku tersadar
dari potongan mimpi yang mengabur
Dia adalah teman yang di titipkan
untuk awal sebuah cerita
Dan aku lebih memilih
pilihan untuk berteman dari sekedar penyapa
Aku korban cerita waktu yang melulu
Menunggu malam menghindar pagi
Dulu,
Sekarang aku lebih memilih
pilihan untuk menyapa daripada menghindar
"Bolehkah kubertanya sahabat baruku pagi?"
Konon Tuhan punya cerita kan?
Tuhan telah menuliskan ceritaku dengan tinta-tinta-Nya
Di antara lembaran-lembaran kertas kehidupan
Indah dan sedih tak bisa dirubah
Dan aku hanya sang bidak diantara jutaan bidak laen, yang tak ada kuasa
sekedar menerima.
Dulu, aku bidak pemberontak
Belajar mengatur yang kupunya
Menolak skrip cerita
Tak lelah menghina dan mencela
Tentang cerita yang kuuanggap berbeda
Aku terpendar, hilang diantara kelam
Dengan keangkuhanku
Di titik terendah
Engkau (pagi) telah menyapa, diantara kesunyian
Aku diam untuk beberapa kata
Mungkin aku sudah kembali datang
Walau kelu kuucap
"Selamat datang pagi",
Ceritaku harusnya berlanjut
Dan aku senang jadi bidak berkawan pagi.
"Benarkan sahabat baru?"
Bukan sekedar untukku tersadar
dari potongan mimpi yang mengabur
Dia adalah teman yang di titipkan
untuk awal sebuah cerita
Dan aku lebih memilih
pilihan untuk berteman dari sekedar penyapa
Aku korban cerita waktu yang melulu
Menunggu malam menghindar pagi
Dulu,
Sekarang aku lebih memilih
pilihan untuk menyapa daripada menghindar
"Bolehkah kubertanya sahabat baruku pagi?"
Konon Tuhan punya cerita kan?
Tuhan telah menuliskan ceritaku dengan tinta-tinta-Nya
Di antara lembaran-lembaran kertas kehidupan
Indah dan sedih tak bisa dirubah
Dan aku hanya sang bidak diantara jutaan bidak laen, yang tak ada kuasa
sekedar menerima.
Dulu, aku bidak pemberontak
Belajar mengatur yang kupunya
Menolak skrip cerita
Tak lelah menghina dan mencela
Tentang cerita yang kuuanggap berbeda
Aku terpendar, hilang diantara kelam
Dengan keangkuhanku
Di titik terendah
Engkau (pagi) telah menyapa, diantara kesunyian
Aku diam untuk beberapa kata
Mungkin aku sudah kembali datang
Walau kelu kuucap
"Selamat datang pagi",
Ceritaku harusnya berlanjut
Dan aku senang jadi bidak berkawan pagi.
"Benarkan sahabat baru?"
Thursday, April 15, 2010
Wednesday, April 14, 2010
Hati ini..
Lugu
Lucu atau dungu?
Engkau tahu itu?
Belajar mencerna keikhlasan, kubilang lugu
Menangis ketika jiwa tertawa, atau sebaliknya
kubilang lucu, tapi mungkin kau berpendapat ini dungu
Hati ini memang lucu
jika tak kau protes ini antara lugu dan dungu
Lucu atau dungu?
Engkau tahu itu?
Belajar mencerna keikhlasan, kubilang lugu
Menangis ketika jiwa tertawa, atau sebaliknya
kubilang lucu, tapi mungkin kau berpendapat ini dungu
Hati ini memang lucu
jika tak kau protes ini antara lugu dan dungu
Sunday, March 28, 2010
Sore?
Entah aku ada dimana, aku merasa tak berada disini sekarang. Sesekali kurasa aku terlempar jauh ke pelosok-pelosok balok masa kecilku, dan sesekali aku terhenti di ruang gelap di pelesiran komplek rumah, selebihnya di puluhan tempat yang aku sendiri tak sadar dengan itu.
Kesadaranku berada pada batas terendahnya, aku tenggelam oleh banjir imajinasiku yang melulu kelu, mellow penuh rintihan, dengan sedikit harapan. Aku mungkin hanyut dalam arus mimpi suram yang sering kudapati ketika aku demam sewaktu kecil. Aku merasa kecil diantara gerombolan raksasa yang terus membesar, dan paling kubenci adalah, mereka tahu keberadaanku. Sem!
Suaraku tercekat di longgarnya saluran udara di tenggorakan, aku tak bisa menjelaskannya. Seolah seribu tangan menutup erat mulutku, hingga menyelesik menghentikan kesadaranku. Pendengaranku tak lebih baek dari indra pengucapku. Kelu semua, tanpa penjelasan.
Indraku berkhianat padaku, melupakanku dalam kejalangan kehampaan tanpa kesadaran. Aku hanya sanggup memandang, tanpa bisa melihat sebaris kalimat makna di sana, hanya kehampaan tak bertuan.
Aku mungkin heran, tulisan ini bisa terucap, karena saat aku menulis, entah aku sedang dimana. Mungkin sekali yang kau baca ini, bukan aku sama sekali. Hanya bayangku, yang meminjam ragaku, maksudku tanganku.
Oia, sebentar aku bertanya, sudah sorekah ini?
Kesadaranku berada pada batas terendahnya, aku tenggelam oleh banjir imajinasiku yang melulu kelu, mellow penuh rintihan, dengan sedikit harapan. Aku mungkin hanyut dalam arus mimpi suram yang sering kudapati ketika aku demam sewaktu kecil. Aku merasa kecil diantara gerombolan raksasa yang terus membesar, dan paling kubenci adalah, mereka tahu keberadaanku. Sem!
Suaraku tercekat di longgarnya saluran udara di tenggorakan, aku tak bisa menjelaskannya. Seolah seribu tangan menutup erat mulutku, hingga menyelesik menghentikan kesadaranku. Pendengaranku tak lebih baek dari indra pengucapku. Kelu semua, tanpa penjelasan.
Indraku berkhianat padaku, melupakanku dalam kejalangan kehampaan tanpa kesadaran. Aku hanya sanggup memandang, tanpa bisa melihat sebaris kalimat makna di sana, hanya kehampaan tak bertuan.
Aku mungkin heran, tulisan ini bisa terucap, karena saat aku menulis, entah aku sedang dimana. Mungkin sekali yang kau baca ini, bukan aku sama sekali. Hanya bayangku, yang meminjam ragaku, maksudku tanganku.
Oia, sebentar aku bertanya, sudah sorekah ini?
Friday, March 26, 2010
Thursday, March 25, 2010
Pujangga Samar
Kudengar suara gitar
mengalun samar-samar
di pagi yang berpendar
Menggeliat mengejar camar
Lirih, rintihan melodi dalam petikan senar
Kumenoleh merunut lagu
Di bawah langit yang kian membiru
Terhanyut irama sendu
Mengkristalkan serpihan rindu
Yang kian terang menyibak kalbu
Tak jua kutemui sang pengelana
Pencerita lewat alunan nada
Hanya rindu dan cinta
Yang tersampaikan dalam kata
Ini gila!!
Kau dimana wahai pujangga?
Ceritamu membunuhku nelangsa
Cerita kita sama
sama sekali tak beda
Hanya aku ada, kau tak ada
Mungkinkah kau imajinasi?
Dalam cerita pagi ini
Yang mengabur menghilang seiring terusirnya kabut pagi
Ah, aku tak peduli
Untukmu terimakasih, telah menemaniku melewati sunyi
di kala pagi yang menggigit mencekam ini
mengalun samar-samar
di pagi yang berpendar
Menggeliat mengejar camar
Lirih, rintihan melodi dalam petikan senar
Kumenoleh merunut lagu
Di bawah langit yang kian membiru
Terhanyut irama sendu
Mengkristalkan serpihan rindu
Yang kian terang menyibak kalbu
Tak jua kutemui sang pengelana
Pencerita lewat alunan nada
Hanya rindu dan cinta
Yang tersampaikan dalam kata
Ini gila!!
Kau dimana wahai pujangga?
Ceritamu membunuhku nelangsa
Cerita kita sama
sama sekali tak beda
Hanya aku ada, kau tak ada
Mungkinkah kau imajinasi?
Dalam cerita pagi ini
Yang mengabur menghilang seiring terusirnya kabut pagi
Ah, aku tak peduli
Untukmu terimakasih, telah menemaniku melewati sunyi
di kala pagi yang menggigit mencekam ini
Peran
Kenapa tak kau nikmati dulu sementara peranmu?
Peganglah cukup lama hingga kau tersadarkan
dari ada dan ketiadaan ceritamu
Hingga kebatas panggung, nikmatilah
kau bisa berbalik suatu saat nanti
tapi tak senikmat lagi apa yang di suguhkan untukmu
Berhentilah sejenak di tangga panggung
biarkan semua menggila, untukmu tetap sadar
walau dalam kebisuan
Friday, March 19, 2010
Percakapan Pagi
"Lalu, apa keputusanmu?"
Sunyi mengambil jatah waktu diantara percakapan pagi setelah pertanyaan tadi. Detik jam di ruang tengah seolah bersuara begitu keras, meluapkan rasa ketiadaan dia di panggung-panggung waktu, walaupun dia selalu menjadi pemeran utamanya.
Giliran angin sepoi-sepoi menyentuh ranting-ranting kering yang menyisakan 1-2 daun yang mulai layu menunggu "masa".
Hidup seolah sebuah kegetiran, kesendirian tak berujung, dan penantian yang tak pasti.
"Entahlah" Samar, hampir selembut sapaan angin pada ranting, nyaris tak terdengar.
"Setiap insan adalah representasi cerita yang tak pernah sama, waktu akan berputar pada patch-nya, tapi tidak dengan cerita kita. Ada yang berubah disana, tak selamanya akan mengalir pada jalur-jalur yang kau harapkan"
"Aku tahu" Kujawab dingin.
Pertama kali sinar mentari menyapa, dingin menyingsing untuk beberapa saat. Pelan dan pelan. Ini musim kemarau yang hampir tak berujung, mengenalkan dingin kemarau yang begitu menusuk hingga ke sumsum terdalamku. Angin kemarau ini terlalu banyak membawa cerita, yang tak seharusnya dia bawa. Aku ingin mencegahnya, tapi dimana dia?Aku bahkan tak pernah melihat wujudnya, walau aku dengan sadar merasakan kehadirannya.
Tentang dia, ini musim kemarau ketiga setelah pertengkaran hebat kami. Dia lama hilang, sampai angin sialan itu datang. Angin kemarau di pagi hari yang menceritakan kembali fragmen-fragmen kisah indah kami.
Kami berbeda, dan sangat berbeda. Bukan saja dari fisik, tapi dari semua sisi cara pandang. Aku suka A, maka dia benci A dan suka B. Jika dia memutuskan C, maka aku menolaknya dan memaksakan pilihan R, seterusnya dan seterusnya.
Tuhan sutradara yang tak tertebak, 6 musim kemarau yang lalu aku dipertemukan dengannya. Sedari awal kami tahu kami sangat berbeda, tapi Tuhan menitipkan 3 musim kemarau untuk kami lalui bersama, dengan segala perbedaan yang ada.
Indah dan bahagia, dan aku merindukan 3 musim kemarau pertama itu. Kami bisa berbagi diantara perbedaan kami, bisa melengkapi untuk kekurangan masing-masing, saling mengisi dan menjaga satu sama lain dan beratus-ratus kebahagian-kebahagian yang lain, yang mengiringi perjalanan musim kemarau ke musim penghujan dan seterusnya. Semua berlalu begitu mengalir hingga kami merasa bisa menyatu.
Hingga tiba, aku mulai gamang dengan arti "kita", dan kurasakan ia juga sama sepertiku.Aku dan entah, mungkin dia juga, mulai kehilangan makna "kita", kami bersama tapi terpisah secara ruhiah, dia jauh bagiku. Atau mungkin aku yang telah jauh dariku sendiri semenjak bersamanya. Aku benar-benar bimbang dan blank saat itu.
Aku mulai mencari "perbedaan" kami yang dulu, dan mungkin dia juga sama. Hingga pada suatu titik.
"Jangan terlalu kau paksakan"
Dem, dasar pengganggu!
"Tak selamanya peran itu indah saat terwujud seperti yang kau inginkan, seperti angin ini. Dia sungguh-sungguh berontak akan musim kemarau yang berkepanjangan ini. Seolah tak ada lagi musim penghujan yang akan menyapa dunia ini. Dia selalu bergerak, dalam bisu, mencari pelarian dan usaha untuk menghilangkan peran. Tapi apa jadinya? Semakin dia berlari melepaskan peran, semakin kuat dia memegang peran itu"
Dia tak memberiku kesempatan untuk melanjutkan penelusuran puing-puing masa lalu.
Aku terdiam, bingung dan bimbang.
"Kau tak harus selalu bersamanya, tak perlu menjadi bayanganya, tak perlu menjadi Arjunanya. Jalan kalian indah ketika kalian mengalir pada peran kalian, tak usah di paksakan".
Aku menyeruput teh hangat didepan meja. Ah, kenikmatan teh ini seolah melonjak seribu kali lipat, dari yang biasa kurasakan. Walau dengan sadar, teh itu tak beda dengan yang sebelumnya.
"Cintailah dia seperti angin pada ranting tua itu".
Terdengar tarikan nafas yang dalam, dan sunyi sejenak.
"Kau tak perlu ranting tua itu tahu, kau yang membantunya menyebarkan benang sari, membantu mengguggurkan daun-daun tuanya, atau kau yang mendatangkan hujan jika saatnya tiba. Kau hanya memerankan apa yang sudah kau perankan selama ini, dan jalani saja."
Aku masih terdiam, tapi kemudian tersenyum, kutolehkan pandanganku.Kosong, dia sudah pergi rupa-rupanya.
Kulihat tepat di depanku ranting tua yang bergerak malas-malasan menutupi sinar mentari yang mulai menyilaukan. Kuseruput sisa teh ku yang mulai mendingin.
"Angin sialan, sempat-sempatnya kau menasehatiku setelah kau korek-korek kisah lamaku."
Aku beranjak masuk, meninggalkan cerita diluar, dan berharap si Angin sialan itu tak datang lagi esok. Karena aku sudah terlalu rindu dengan hujan.
Sunyi mengambil jatah waktu diantara percakapan pagi setelah pertanyaan tadi. Detik jam di ruang tengah seolah bersuara begitu keras, meluapkan rasa ketiadaan dia di panggung-panggung waktu, walaupun dia selalu menjadi pemeran utamanya.
Giliran angin sepoi-sepoi menyentuh ranting-ranting kering yang menyisakan 1-2 daun yang mulai layu menunggu "masa".
Hidup seolah sebuah kegetiran, kesendirian tak berujung, dan penantian yang tak pasti.
"Entahlah" Samar, hampir selembut sapaan angin pada ranting, nyaris tak terdengar.
"Setiap insan adalah representasi cerita yang tak pernah sama, waktu akan berputar pada patch-nya, tapi tidak dengan cerita kita. Ada yang berubah disana, tak selamanya akan mengalir pada jalur-jalur yang kau harapkan"
"Aku tahu" Kujawab dingin.
Pertama kali sinar mentari menyapa, dingin menyingsing untuk beberapa saat. Pelan dan pelan. Ini musim kemarau yang hampir tak berujung, mengenalkan dingin kemarau yang begitu menusuk hingga ke sumsum terdalamku. Angin kemarau ini terlalu banyak membawa cerita, yang tak seharusnya dia bawa. Aku ingin mencegahnya, tapi dimana dia?Aku bahkan tak pernah melihat wujudnya, walau aku dengan sadar merasakan kehadirannya.
Tentang dia, ini musim kemarau ketiga setelah pertengkaran hebat kami. Dia lama hilang, sampai angin sialan itu datang. Angin kemarau di pagi hari yang menceritakan kembali fragmen-fragmen kisah indah kami.
Kami berbeda, dan sangat berbeda. Bukan saja dari fisik, tapi dari semua sisi cara pandang. Aku suka A, maka dia benci A dan suka B. Jika dia memutuskan C, maka aku menolaknya dan memaksakan pilihan R, seterusnya dan seterusnya.
Tuhan sutradara yang tak tertebak, 6 musim kemarau yang lalu aku dipertemukan dengannya. Sedari awal kami tahu kami sangat berbeda, tapi Tuhan menitipkan 3 musim kemarau untuk kami lalui bersama, dengan segala perbedaan yang ada.
Indah dan bahagia, dan aku merindukan 3 musim kemarau pertama itu. Kami bisa berbagi diantara perbedaan kami, bisa melengkapi untuk kekurangan masing-masing, saling mengisi dan menjaga satu sama lain dan beratus-ratus kebahagian-kebahagian yang lain, yang mengiringi perjalanan musim kemarau ke musim penghujan dan seterusnya. Semua berlalu begitu mengalir hingga kami merasa bisa menyatu.
Hingga tiba, aku mulai gamang dengan arti "kita", dan kurasakan ia juga sama sepertiku.Aku dan entah, mungkin dia juga, mulai kehilangan makna "kita", kami bersama tapi terpisah secara ruhiah, dia jauh bagiku. Atau mungkin aku yang telah jauh dariku sendiri semenjak bersamanya. Aku benar-benar bimbang dan blank saat itu.
Aku mulai mencari "perbedaan" kami yang dulu, dan mungkin dia juga sama. Hingga pada suatu titik.
"Jangan terlalu kau paksakan"
Dem, dasar pengganggu!
"Tak selamanya peran itu indah saat terwujud seperti yang kau inginkan, seperti angin ini. Dia sungguh-sungguh berontak akan musim kemarau yang berkepanjangan ini. Seolah tak ada lagi musim penghujan yang akan menyapa dunia ini. Dia selalu bergerak, dalam bisu, mencari pelarian dan usaha untuk menghilangkan peran. Tapi apa jadinya? Semakin dia berlari melepaskan peran, semakin kuat dia memegang peran itu"
Dia tak memberiku kesempatan untuk melanjutkan penelusuran puing-puing masa lalu.
Aku terdiam, bingung dan bimbang.
"Kau tak harus selalu bersamanya, tak perlu menjadi bayanganya, tak perlu menjadi Arjunanya. Jalan kalian indah ketika kalian mengalir pada peran kalian, tak usah di paksakan".
Aku menyeruput teh hangat didepan meja. Ah, kenikmatan teh ini seolah melonjak seribu kali lipat, dari yang biasa kurasakan. Walau dengan sadar, teh itu tak beda dengan yang sebelumnya.
"Cintailah dia seperti angin pada ranting tua itu".
Terdengar tarikan nafas yang dalam, dan sunyi sejenak.
"Kau tak perlu ranting tua itu tahu, kau yang membantunya menyebarkan benang sari, membantu mengguggurkan daun-daun tuanya, atau kau yang mendatangkan hujan jika saatnya tiba. Kau hanya memerankan apa yang sudah kau perankan selama ini, dan jalani saja."
Aku masih terdiam, tapi kemudian tersenyum, kutolehkan pandanganku.Kosong, dia sudah pergi rupa-rupanya.
Kulihat tepat di depanku ranting tua yang bergerak malas-malasan menutupi sinar mentari yang mulai menyilaukan. Kuseruput sisa teh ku yang mulai mendingin.
"Angin sialan, sempat-sempatnya kau menasehatiku setelah kau korek-korek kisah lamaku."
Aku beranjak masuk, meninggalkan cerita diluar, dan berharap si Angin sialan itu tak datang lagi esok. Karena aku sudah terlalu rindu dengan hujan.
Thursday, March 18, 2010
Terhimpit
Terhimpit disudut sunyi
Tentang ada dan ketiadaan
Diantara desing nyamuk
yang mengejar makna hidup
Berlari dalam diam
Cukup tenaga kuhabiskan memakan usia
Hanya sekedar menggali makna
Aku benar-benar terhimpit
Disudut bayang-bayang
Cerita tentang keniscayaan
yang gombal pembual
Aku hanya ingin diam
tak ingin berontak, cukup kuterhimpit, tak lagi di mangsa
Tentang ada dan ketiadaan
Diantara desing nyamuk
yang mengejar makna hidup
Berlari dalam diam
Cukup tenaga kuhabiskan memakan usia
Hanya sekedar menggali makna
Aku benar-benar terhimpit
Disudut bayang-bayang
Cerita tentang keniscayaan
yang gombal pembual
Aku hanya ingin diam
tak ingin berontak, cukup kuterhimpit, tak lagi di mangsa
Tuesday, March 16, 2010
Berdamai dengan pagi
Hey pagi!
Kemana sekarung imanjinasi
Yang kukais semalam sendiri?
Kau kemanakan sunyi?
Yang menemaniku dalam sepi
Engkau menghapusnya?
Engkau menghalaunya?
Engkau menahannya?
Tak cukup waktu untuk menunggu
jawablah dan aku akan berdamai
dan pergi
Kemana sekarung imanjinasi
Yang kukais semalam sendiri?
Kau kemanakan sunyi?
Yang menemaniku dalam sepi
Engkau menghapusnya?
Engkau menghalaunya?
Engkau menahannya?
Tak cukup waktu untuk menunggu
jawablah dan aku akan berdamai
dan pergi
Thursday, March 11, 2010
Angin bahasa kita
Angin bahasa awan
yang menuturkan pesan hujan
akan arti kedatangan
entah dengan ramah atau marah
Dia gagu, namun sangat syahdu
Tak bising, hanya merdu
dia perantara lagu
di bawah langit biru
Angin bahasa awan tentang kehidupan
yang datang tak diduga dan hilang tak menyapa
yang menuturkan pesan hujan
akan arti kedatangan
entah dengan ramah atau marah
Dia gagu, namun sangat syahdu
Tak bising, hanya merdu
dia perantara lagu
di bawah langit biru
Angin bahasa awan tentang kehidupan
yang datang tak diduga dan hilang tak menyapa
Thursday, February 18, 2010
Kau
Jadikanlah aku angin
Jadikanlah aku aer
Jadikanlah aku api
Jadikanlah aku awan
Jadikanlah aku malam
Jadikanlah aku kawan
Jadikanlah aku hujan
Jadikanlah aku seseorang
Yang selalu kau sematkan dalam setiap doamu
Jadikanlah aku aer
Jadikanlah aku api
Jadikanlah aku awan
Jadikanlah aku malam
Jadikanlah aku kawan
Jadikanlah aku hujan
Jadikanlah aku seseorang
Yang selalu kau sematkan dalam setiap doamu
Tuesday, February 16, 2010
Gerimis
Gerimis ini meradang
walau dengan keras kuhadang
Kuteriakan penolakan
atas terusirnya kesunyian
walau dengan keras kuhadang
Kuteriakan penolakan
atas terusirnya kesunyian
Saturday, February 13, 2010
Suara Sunyi
Sunyi
Kau dengar suara?
mungkin berbisik, mungkin berteriak
Kau dengar suara?
pelan dan menggoyahkan
Dengarlah
itu suara sunyi
yang dilantunkan hati para pemimpi
Kau dengar suara?
mungkin berbisik, mungkin berteriak
Kau dengar suara?
pelan dan menggoyahkan
Dengarlah
itu suara sunyi
yang dilantunkan hati para pemimpi
Friday, February 12, 2010
Mengalir usang di tepian tak berujung
Pada sunyi yang membunuh malam
kisah bercerita untuk pasrah
topeng-topeng jalang yang menelanjangi kejujuran
tersembunyi di sudut-sudut sempit nan gulita
Tentang kisah tragis yang mengiris iris
yang terdampar pada sisi tepian
tapi tak kunjung berujung
Aku marah
Marah untuk kisah
yang membuatku tersungkur pada mimpi kelam tanpa jaga
hanya berulang usang
Mengalir pada jejak kakinya sendiri
kisah bercerita untuk pasrah
topeng-topeng jalang yang menelanjangi kejujuran
tersembunyi di sudut-sudut sempit nan gulita
Tentang kisah tragis yang mengiris iris
yang terdampar pada sisi tepian
tapi tak kunjung berujung
Aku marah
Marah untuk kisah
yang membuatku tersungkur pada mimpi kelam tanpa jaga
hanya berulang usang
Mengalir pada jejak kakinya sendiri
Tuesday, February 9, 2010
Sunday, January 24, 2010
Dengan kata
pada kata kugantung makna
dan sepenuh jiwa
untukmu
pada kata kuukir cita
dan sejumput cinta
untukmu
pada kata kutitipkan janji
dan semua isi hati
untukmu
demi kata aku akan diam
mencinta dalam sunyi
hanya untukmu
dengan kata kuurai
semua rasa untukmu
aku cinta
dan sepenuh jiwa
untukmu
pada kata kuukir cita
dan sejumput cinta
untukmu
pada kata kutitipkan janji
dan semua isi hati
untukmu
demi kata aku akan diam
mencinta dalam sunyi
hanya untukmu
dengan kata kuurai
semua rasa untukmu
aku cinta
untitled (aku gila)
terpekur tersungkur terkubur
pada sekat waktu
yang terulang kembali
sama persis
teriris miris habis
makna jiwa ini
pada titik nadir terendah
absolut
aku gila
pada sekat waktu
yang terulang kembali
sama persis
teriris miris habis
makna jiwa ini
pada titik nadir terendah
absolut
aku gila
Wednesday, January 20, 2010
Ajari aku
Ajari aku
tertawa saat menangis
Ajari aku
diam dalam keramaian
Ajari aku
untuk mencinta dalam keikhlasan
Ajari aku
menuliskan ini, saat tak bersisa lagi kata yang kupunya
Ajari aku Tuhan
tertawa saat menangis
Ajari aku
diam dalam keramaian
Ajari aku
untuk mencinta dalam keikhlasan
Ajari aku
menuliskan ini, saat tak bersisa lagi kata yang kupunya
Ajari aku Tuhan
Subscribe to:
Comments (Atom)